Jumat, 03 Juni 2016

Tugas Tulisan Softskill

Ponpes Daarul Rahman, Oase Spiritual di Jantung Jakarta


PERNAHKAH Anda membayangkan pondok pesantren yang berdiri di tengah kawasan bisnis, dikelilingi gedung-gedung pencakar langit kota metropolitan Jakarta? Pondok pesantren (Ponpes) itu tak lain, Daarul Rahman, pimpinan KH. Syukron Makmun. Posisinya yang berada di jantung kota Jakarta, tepatnya di pusat bisnis Sudirman, Jl. Senopati Dalam II No. 35 A Kebayoran Baru Jakarta Selatan, memang terbilang unik.

Kontras dengan gedung-gedung lainnya yang ada di kawasan itu, Daarul Rahman menyiratkan eksistensi pesantren di tengah kota. Di tengah pusaran kehidupan bisnis, hiburan, dan pemerintahan di Jakarta, ternyata masih ada ruang-ruang spiritual yang tersedia untuk ‘kesejukan’ masyarakat kota. Tak berlebihan jika Ponpes ini disebut “Oase Spiritual di Jantung Jakarta”.

Dalam bahasa lain, Daarul Rahman melengkapi taman-taman kota dan ruang terbuka hijau yang belakangan digalakkan Pemprov DKI Jakarta. Jika taman memberi kesejukan lahir, maka Daarul Rahman mengalirkan kesejukan batin spiritual bagi warga kota. Ia juga menjadi cermin bagi santri bahwa kehidupan nyata di balik dinding pesantren kian menantang.
Ponpes Daarul Rahman didirikan pada 11 Januari 1975 oleh KH. Syukron Makmun bersama kawan-kawannya; KH. Untung Ghozali BA, KH. Mansyuri Baidlowi MA, Ust. Nuharzim  BA, KH. Kadir Rahaman, KH Abdurahman Naidi, dan H. Muhammad Noor Mughi. Pesantren ini menempati lahan wakaf dari H. Abdurahman Naidi. Kawasan Senopati pada tahun 1970-an masih berbentuk kampung. Tapi pesatnya perkembangan Jakarta pada tahun 1980-an dengan cepat mengubah kawasan ini dari kampung menjadi segitiga emas bisnis Jakarta.
Idealisme Kiyai Syukron untuk mendirikan pesantren Daarul  Rahman yaitu ingin menggabungkan antara model klasikal ala pesantren Gontor dan model Salafiyah. “Kami ingin membentuk kader ulama yang berwawasan intelektual” ujar Kiyai Syukron.
Cita-cita ini tak lepas dari latar belakang pendidikannya. Kiyai yang berasal dari Madura, ini pada awalnya menempuh pendidikan sekolah guru di Madura. Tapi, anak kedua dari 14 bersaudara ini tidak lantas menjadi guru, melainkan memilih memperdalam ilmu agama Islam.
Ia menempuh pendidikan di pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren modern. Pendidikan salaf ia timba selama dua tahun di Pesantren Salafiyah, Pasuruan Jawa Timur. Kemudian, selama sembilan tahun, ia melanjutkan pendidikan dan mengabdi di Pesantren Gontor, Ponorogo. Di Gontor pula ia mencicipi bangku kuliah, tepatnya di Insitut Darusalam. Dari pesantren salaf ia mendapatkan ilmu agama melalui kitab kuning, sementara di Gontor ia memperoleh kemahiran bahasa Arab dan Inggris dan berorganisasi.
Latar belakang salaf dan modern itulah yang coba dikombinasikan dalam wujud Pesantren Daarul Rahman. Dengan begitu santri-santri yang belajar di Daarul Rahman memiliki kemampuan membaca kitab kuning, memperoleh kemahiran berbahasa Arab dan Inggris, serta cara-cara berorganisasi. Seiring perkembangan zaman, mereka juga dibekali dengan kemampuan ilmu-ilmu umum.
Pesantren Daarul Rahman memang memiliki kurikulum tersendiri yang khas. Komposisi mata pelajaran adalah 75 persen ilmu agama dan 25 persen ilmu pengetahuan umum. Sejak awal, pesantren ini tidak menggunakan kurikulum kurikulum Nasional. Akibatnya, pada masa Orde Baru ijazah yang dikeluarkan Daarul Rahman tidak diakui pemerintah.
Ketika Reformasi bergulir, Mendiknas Malik Fajar memberikan perhatian lebih pada pesantren. Ia mengeluarkan SK yang memperbolehkan Daarul Rahman tidak mengikuti kurikulum pemerintah. Dengan menjalankan kurikulum sendiri, tanpa mengikuti UAN ijazah lulusan Daarul Rahman disamakan sebagai ijazah negeri.
Kegiatan sehari-hari santri di pesantren ini sangat padat. Hal ini membiasakan diri mereka disiplin baik dalam belajar maupun beribadah. Penerapan sistem klasikal dimulai sejak pukul 06.30 hingga menjelang shalat Ashar. Dimulai dengan percakapan bahasa Arab dan Inggris di halaman sekolah dari pukul 06.30 sampai 07.10.
Pada pukul 07.20 hingga 12.40 santri mengikuti pelajaran formal di dalam kelas. Lalu pada siang harinya sampai pukul 15.00 santri kelas I dan II Tsanawiyah mengikuti kursus bahasa Inggris.
Sistim salafi diberlakukan pada sore hingga ba’da subuh. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.30 santri kelas II Tsanawiyah sampai kelas III Aliyah belajar kitab kuning di kelas. Hanya saja proses belajar mengajar ini tidak bandongan atau sorogan  seperti pesantren salaf pada umumnya.
Selepas shalat maghrib sampai isya santri Tsanawiyah membaca Al-Qur’an di bawah bimbingan para ustadz. Tapi bukan berarti santri dari kelas lain istirahat, karena mereka belajar kitab kuning lagi. Pukul 20.00 santri kembali masuk kelas hingga pukul 22.30. Baru setelah itu santri bisa istirahat, tidur sampai datang waktu subuh. Kemudian ba’da subuh kelas I belajar kitab kuning di kelasnya masing-masing.
Meski berada di tengah kota, dengan sistem pendidikan klasikal dan salaf yang padat tersebut santri tidak memiliki kebebasan atau peluang untuk bermain-main di Jakarta. Dengan demikian, tidak ada kekhawatiran akan kontaminasi budaya permisif masyarakat kota. Sebab, selama berada di pesantren, santri difokuskan untuk menuntut ilmu. Di samping itu, peraturan yang ditegakkan di pesantren juga terbilang ketat.
Kiyai Syukron yakin kombinasi antara salaf dan modern akan membentuk santri yang cerdas dan tidak ketinggalan zaman. Sebab, di Daarul Rahman, santri juga belajar matematika, fisika, dan kimia. Di samping itu, para santri pun diajarkkan komputer. Agar tidak ketinggalan informasi, santri juga berlangganan surat kabar.
Di banding sekolah umum, menurut Kiyai Syukron pesantren memiliki kelebihan pada soal akhlak dan disiplin berpakaian. ”Satu-satunya pendidikan yang tidak dipengaruhi budaya barat, adalah pesantren,” katanya.
Meski mengajarkan pelajaran umum, tapi tujuan pesantren untuk mencetak ahli agama tidak dapat dilupakan. Sebab, jika terlalu menitikberatkan ke pelajaran umum, pesantren tidak dapat menghasilkan Kiai. Melainkan menghasilkan orang yang setengah-setengah.
Seiring perkembangan zaman Pesantren Darul Rahman membuka dua cabang yaitu di Kampus Daarul Rahman II seluas 8,5  hektar di Kampung Jambu Desa Sibanteng Leuwiliang Bogor. Kampus Daarul Rahman III di Depok dengan sistem pendidikan SMP dan SMA plus.
Santri pesantren Daarul Rahman tidak terbatas dari Jakarta, mereka juga berasal dari seluruh penjuru tanah air, dari Sabang sampai Merauke, bahkan ada yang dari negeri Jiran, Malaysia. Kini tak kurang dari 1485 santri tengah belajar di Pesantren Daarul Rahman di pusat dan dua cabang.
Dalam usia ke 34 tahun, Ponpes Darul Rahman telah menghasilkan ribuan alumni. Kini di antara mereka telah berhasil dan membuka pesantren. Di antaranya Pesantren Qotrun Nada pimpinan KH. Drs. Burhanuddin Marzuki dan Pesantren Daarul Mughni Al-Maliki pimpinan KH. Mustofa Mughni.
Berdiri di tengah kota Jakarta, tak membuat Pesantren Daarul Rahman menjadi ekslusif. Para santri dan pimpinan pondok juga terlibat dan bergaul dengan masyarakat sekitar Senopati. Mereka biasa bekerja sama menyelenggarakan peringatan hari besar Islam dan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Hal ini tidak terlepas dari sosok KH. Syukron Makmun, yang selain pimpinan pesantren, sejak lama ia juga telah menjadi tokoh masyarakat.


Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

 
biz.